Diantara perkataan ada yang buruk dan ada yang lebih buruk, ada yang keji dan ada yang lebih keji, ada yang baik dan ada yang lebih baik.
“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan yang lebih baik. Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka.” (al-Isra’:53)
Diantara kewajiban utama kita dalam urusan lidah ini ialah menggunakannya dalam da’wah kepada kebaikan, amar ma’ruf, nahi munkar, mendamaikan persengketaan dan menyerukan kebaikan dan taqwa.
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran:104)
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shadqah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia.” (an-Nisa’:114)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan taqwa.” (al-Mujadilah:9)
Tetapi daftar kewajiban lidah dan larangannya sangat banyak.
1.a. Bahaya Lidah dan Keutamaan Diam
Bahaya lidah sangat besar.
Sahl bin Sa’d berkata: Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang menjamin untukku apa yang ada diantara dua janggutnya dan dua kakinya maka aku menjamin untuknya sorga.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw. ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam sorga, lalu beliau bersabda: “Taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik.” Dan beliau ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, kemudian beluai bersabda: “Dua hal yang kosong: Mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi)
Mu’adz bin Jabal berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita ucapkan?” Nabi saw. bersabda: “Bagaimana kamu ini wahai Ibnu Jabal, tidaklah manusia dicampakkan ke dalam api neraka kecuali karena akibat lidah mereka.” (HR. Tirmidzi)
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya.” (HR. Thabrani, Ibnu Abu Dunya, al-Baihaqi)
Dari Shafwan bin Sulaim, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang ibadah yang paling mudah dan paling ringan bagi badan? Diam dan akhlaq yang baik.” (HR. Ibnu Abu Dunya)
Nabi saw. bersabda: “Simpanlah lidahmu kecuali untuk kebaikan, karena sesungguhnya dengan demikian kamu dapat mengalahkan syetan.” (HR. Thabrani, Ibnu Hibban)
Sesungguhnya lidah orang Mu’min berada di belakang hatinya; apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka ia merenungkannya dengan hatinya kemudian lidahnya menunaikannya. Sedangkan lidah orang munafiq berada di depan hatinya; apabila menginginkan sesuatu maka ia menunaikannya dengan lidah dan hatinya.
Umar ra. berkata, “Siapa yang banyak omongnya banyak kesalahannya, siapa yang banyak kesalahannya banyak pula dosanya, dan siapa yang banyak dosanya maka api neraka lebih cocok untuknya.”
Apa sebabnya diam memiliki keutamaan demikian besar? Maka ketahuilah bahwa sebabnya adalah karena banyaknya penyakit lidah. Penyakit yang banyak ini sangat mudah dan ringan meluncur dari lidah, terasa manis di dalam hati dan memiliki berbagai dorongan dari tabi’at syetan. Disamping bahwa di dalam diam itu terkandung kewibawaan, konsentrasi untuk berfikir, dzikir dan ibadah. Dalam diam juga terkandung keselamatan dari berbagai tanggungjawab perkataan di dunia dan hisabnya di akhirat.
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18)
Perkataan terbagi atas empat bagian: Perkataan yang berbahaya sepenuhnya, perkataan yang bermanfaat sepenuhnya, perkataan yang mengandung manfaat dan bahaya, perkataan yang tidak berbahaya dan tidak bermanfaat.
Pada perkataan yang berbahaya sepenuhnya maka kita harus diam tidak mengucapkannya. Demikian pula perkataan yang mengandung bahaya dan manfaat. Adapun perkataan yang tidak mengandung bahaya dan tidak pula bermanfaat maka ia adalah fudhul (hal yang berlebih dari yang diperlukan); menyibukkan diri dengannya berarti menyia-nyiakan waktu dan merupakan kerugian.
1.b. Penyakit-penyakit Lidah
Berikut ini penyakit-penyakit lidah dan dimulai dengan yang paling ringan kemudian meningkat kepada yang lebih berat :
1.b.i. Penyakit Pertama: Pembicaraan yang tidak Berguna
Jika Anda berbicara tentang sesuatu yang tidak Anda perlukan dan tidak bermanfaat bagi Anda, maka berarti Anda menyia-nyiakan waktu. Anda akan dihisab atas perbuatan lidah Anda dan berarti Anda telah mengganti yang lebih baik dengan yang lebih rendah. Kalau Anda pergunakan waktu bicara tersebut untuk berfikir bisa jadi Anda akan mendapatkan limpahan rahmat Allah pada saat tafakkur sehingga sangat besar manfaatnya. Sekiranya Anda memuji Allah, menyebut-Nya dan mengagungkan-Nya niscaya hal itu lebih baik. Berapa banyak satu kalimat yang dengannya dibangun istana di sorga.
Sekalipun pembicaraan yang tidak berguna tidak berdosa, tetapi dia telah merugi karena terluput mendapatkan keuntungan besar dari dzikrullah. Diamnya orang Mu’min hendaknya merupakan tafakkur, penglihatannya merupakan pengambilan pelajaran, dan ucapannya merupakan dzikir. Bahkan modal hamba adalah waktunya. Bila dipergunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat baginya dan tidak dipakai untuk menimbun pahala di akhirat maka sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan modalnya.
“Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Batasan perkataan yang tidak bermanfaat bagi Anda ialah Anda mengatakan sesuatu pembicaraan yang sekiranya Anda tidak mengucapkannya maka Anda tidak berdosa dan tidak membahayakan keadaan ataupun harta. Misalnya, menyebutkan kisah perjalanan Anda, menanya orang lain tentang sesuatu yang tidak bermanfaat bagi Anda, karena dengan pertanyaan itu berarti Anda menyia-nyiakan waktu Anda dan Anda telah memaksa teman Anda untuk menjawabnya sehingga dia pun terbawa kepada hal yang sia-sia.
Obat dari semua ini adalah mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kata yang diucapkan, lidahnya adalah jarring yang bisa dipakai untuk mendapatkan bidadari sorga, menyia-nyiakan hal tersebut merupakan kerugian yang nyata. Itulah obat dari segi ilmu. Dari segi amal adalah dengan ‘uzlah atau meletakkan kerikil di dalam mulutnya atau mewajibkan dirinya untuk diam tidak mengatakan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya sehingga lidahnya terbiasa meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.
1.b.ii. Penyakit Kedua: Berlebihan dalam Berbicara
Meliputi pembicaraan yang tidak bermanfaat dan menambah pembicaraan yang bermanfaat sehingga melebihi keperluan.
Ibrahim at-Taimi berkata, “Apabila seorang Mu’min ingin berbicara maka ia melihat, jika menguntungkan dirinya ia berbicara tetapi jika merugikan maka ia menahan diri. Orang yang durhaka adalah orang yang lidahnya terumbar bebas.”
Sebagian kaum bijak bestari berkata, “Apabila seseorang berada dalam sebuah majlis lalu berambisi untuk bicara maka hendaklah ia diam dan apabila diam lalu selalu ingin diam, maka hendaklah ia berbicara.”
Yazid bin Abu Hubaib berkata, “Termasuk fitnah seorang alim ialah jika dia lebih suka berbicara ketimbang mendengarkan. Jika sudah ada orang yang berbicara cukup maka mendengarkan adalah keselamatan sedangkan ikut berbicara adalah kelebihan omongan dan kekurangan.”
1.b.iii. Penyakit Ketiga: Melibatkan Diri dalam Pembicaraan yang Batil
Yakni pembicaraan tentang berbagai kemaksiatan. Orang yang terlalu banyak berbicara tentang hal yang tidak berguna tidak akan aman dari terlibat dalam kebatilan.
“Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.” (an-Nisa’:140)
“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang membuat teman-teman duduknya tertawa, tetapi ucapan tersebut menjerumuskan-nya lebih jauh dari bintang Trusaya.” (HR. Ibnu Abu Dunya)
Ibnu Sirin berkata, “Seorang Anshar melewati suatu majlis mereka lalu dia berkata kepada mereka, ‘Berwudhu’lah karena sebagian yang kalian ucapkan lebih buruk dari hadats’.”
1.b.iv. Penyakit Keempat: Perbantahan dan Perdebatan
“Janganlah kamu mendebat saudaramu, janganlah kamu mempermainkan-nya, dan janganlah kamu membuat janji dengannya lalu tidak kamu tepati.” (HR. Tirmidzi)
“Siapa yang meninggalkan perbantahan padahal dia benar maka dibangun untuknya sebuah rumah di sorga yang paling atas. Siapa yang meninggalkan perbantahan sedangkan dia salah maka dibangun untuknya sebuah rumah di bagian pinggir sorga.” (HR. Tirmidzi)
“Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah menunjuki mereka kecuali karena mereka melakukan perdebatan” (HR. Tirmidzi)
Perbantahan ialah setiap sanggahan terhadap pembicaraan orang lain dengan menampakkan ketimpangan di dalamnya. Meninggalkan perbantahan adalah dengan meninggalkan pengingkaran dan sanggahan. Setiap pembicaraan yang Anda dengar jika tidak berkaitan dengan urusan agama [juga tidak menimbulkan kerusakan] maka hendaklah Anda mendiamkannya.
Motivasi yang menggerakkan penyakit ini adalah rasa superioritas dengan menampakkan ilmu dan keunggulan disertai serangan terhadap orang lain dengan menampakkan kekurangannya. Kedua hal ini adalah syahwat batin bagi jiwa.
1.b.v. Penyakit Kelima : Pertengkaran
Ia lebih berat dari perbantahan dan perdebatan. Perbantahan adalah pengertian tentang perkara yang berkaitan dengan memenangkan pendapat atau pemikiran tanpa terkait tujuan selain melecehkan orang lain, dan menampakkan keunggulan dan kepintarannya. Sedangkan pertengkaran adalah bersikeras dalam pembicaraan untuk mendapatkan harta atau hak yang direncanakan.
“Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras dalam pertengkaran.” (HR. Bukhari)
Jika Anda berkata, bila manusia memiliki hak lalu untuk mendapatkannya atau menjaganya dia harus bertengkar karena dizalimi, maka bagaimana hukumnya dan bagaimana pertengkaran itu dicela, Maka ketahuilah bahwa celaan ini ditujukan kepada orang yang bertengkar dengan cara yang batil dan tanpa ilmu.
Celaan ini juga ditujukan kepada orang yang menuntut haknya tetapi tidak membatasi diri sesuai keperluannya.
Perkataan yang baik adalah lawan dari pertengkaran, perbantahan, perdebatan yang notabene merupakan perkataan yang dibenci, dapat melukai hati, dapat mengeruhkan kehidupan, dan membangkitkan kemarahan dan membuat dada panas.
“Hal yang akan memasukkan kamu ke dalam sorga (diantaranya) adalah perkataan yang baik dan memberi makan.” (HR. Thabrani)
“Dan ucapkanlah perkataan yang baik kepada manusia.” (al-Baqarah: 83)
“Takutlah kalian akan api neraka sekalipun dengan sebelah biji korma; jika kamu tidak punya maka dengan perkataan yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.vi. Penyakit Keenam: Berkata Keji, Jorok dan Cacian
“Jauhilah kekejian, karena Allah tidak menyukai kekejian dan membuat-buat kekejian.” (HR. Nasa’i, al-Hakim dan Ibnu Majah)
“Orang Mu’min itu bukanlah orang yang suka melukai, bukan orang yang suka melaknat, bukan orang yang suka berkata keji dan bukan pula orang yang suka berkata kotor.” (HR. Tirmidzi)
“Berkata kotor dan vulgar adalah dua cabang diantara cabang-cabang nifaq.” (HR. Tirmidzi, al-Hakim)
Yang dimaksud dengan perkataan vulgar (al-bayan) disini adalah mengungkapkan sesuatu yang tidak boleh diungkapkan. Atau berterus terang menyampaikan apa yang manusia merasa malu mengungkapkannya secara vulgar.
“Sesungguhnya kekejian dan saling berkata keji bukan dari Islam sama sekali, dan sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya adalah orang yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abu Dunya)
Hakikat berkata keji ialah mengungkapkan hal-hal yang buruk dengan ungkapan-ungkapan yang vulgar. Kebanyakan hal tersebut berkaitan dengan masalah seksual dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Orang-orang yang rusak memiliki ungkapan-ungkapan vulgar dan keji yang dipergunakan untuk mengungkapkan hal tersebut, sedangkan orang-orang shalih menghindarinya dan menggunakan bahasa-bahasa kiasan. Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya Allah sangat pemalu lagi Mahamulia; mema’afkan dan menggunakan bahasa kiasan – memakai kata ‘menyentuh’ untuk mengungkapkan jima. Jadi, menyentuh, masuk dan bergaul adalah kiasan untuk jima’, dan kata-kata itu tidak keji. Penggunaan bahasa kiasan juga dipakai untuk membuang hajat untuk buang air.
Ada ungkapan-ungkapan keji yang tidak layak disebutkan dan biasanya dipakai untuk mencaci.
Hal yang mendorong berkata keji diantaranya keinginan untuk menyakiti atau kebiasaan akibat pergaulan dengan orang-orang fasik dan orang-orang hina yang diantara kebiasaan mereka adalah mencaci-maki.
Seorang Arab badui berkata kepada Rasulullah saw, “Wasiatilah aku.” Nabi saw. bersabda: “Kamu harus bertaqwa kepada Allah; jika seseorang mencelamu dengan sesuatu yang diketahuinya ada pada dirimu maka janganlah kamu membalas mencelanya dengan sesuatu yang ada pada dirinya, niscaya dosanya kembali kepadanya dan pahalanya untuk kamu, dan janganlah kamu mencela sesuatu.” Orang Arab Badui itu berkata, “Setelah itu aku tidak pernah mencela sama sekali.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
“Mencaci-maki orang Mu’min adalah kefasikan sedangkan membunuhnya adalah kekafiran.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Dua orang yang saling mencaci-maki apa yang mereka katakan, maka adalah atas (tanggungan) orang yang memulai dari keduanya sampai orang yang teraniaya melampaui batas.” (HR. Muslim)
“Diantara dosa besar adalah seseorang mencaci kedua orang tuanya..” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencaci kedua orang tuanya?” Nabi saw. bersabda: “Dia mencaci bapak seseorang lalu orang itu mencaci bapaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.vii. Penyakit Ketujuh: Nyanyian dan Syair
Adapun syair, maka perkataannya yang baik adalah baik dan perkataannya yang buruk adalah buruk. Tetapi berkonsentrasi penuh untuk syair adalah tercela.
Membaca syair tidak haram jika tidak mengandung kata-kata yang dibenci.
1.b.viii. Penyakit Kedelapan: Senda Gurau
Asalnya tercela dan dilarang kecuali dalam kadar yang sedikit.
Yang dilarang adalah senda gurau yang berlebihan atau terus menerus, karena bersenda gurau secara terus menerus berarti sibuk dengan permainan dan hal yang sia-sia. Senda gurau yang berlebihan akan menyebabkan banyak tertawa padahal banyak tertawa itu bisa mematikan hati dan menjatuhkan kewibawaan. Senda gurau yang terbebas dari hal-hal tersebut tidak tercela.
Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda “Sesungguhnya aku bersenda gurau tetapi aku tidak mengatakan kecuali yang benar.”
Orang seperti Nabi saw. bisa bersenda gurau tanpa berdusta, sedangkan orang selainnya apabila telah membuka pintu senda gurau maka tujuannya adalah membuat orang tertawa sesukanya. Padahal Nabi saw. bersabda:
“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu perkataan yang membuat teman-teman duduknya tertawa, tetapi dengan perkataan itu dia terjerumus ke dalam api neraka lebih jauh dari bintang tsuraiya.”
Selain itu banyak tertawa juga menjadi tanda kelalaian dari akhirat. Nabi saw. bersabda :
“Sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tertawa yang tercela adalah tertawa terbahak-bahakn sedangkan tertawa yang terpuji adalah tersenyum hingga terlihat giginya tetapi tanpa terdengar suara keras. Demikianlah senyum Rasulullah saw. (Hadits semakna dengan ini terdapat di dalam riwayat Muslim)
1.b.ix. Penyakit Kesembilan: Ejekan dan Cemoohan
Hal ini diharamkan, karena dapat menyakiti.
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (al-Hujurat:11)
Arti ejekan ialah penghinaan, pelecehan dan penyebutan berbagai aib atau kekurangan untuk mentertawakannya.
Dari Abdullah bin Zam’ah bahwa ia mendengar Rasulullah saw berkhutbah lalu menasihati mereka tentang tertawa mereka kepada orang yang kentut. Nabi saw. bersabda: “Mengapa salah seorang diantara kalian menertawakan apa yang diperbuatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.x. Penyakit Kesepuluh: Janji Palsu
Lidah sangat mudah memberikan janji, sedangkan jiwa terkadang tidak memungkinkan untuk menepatinya sehingga janji itu teringkari.
“Wahai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janji (kalian).” (al-Ma’idah:1)
Ibnu Mas’ud tidak pernah memberikan janji kecuali dengan mengatakan ‘insya Allah’. Ini lebih utama. Kemudian jika hal itu difahami sebagai kepastian janji maka harus ditepati kecuali berhalangan. Jika pada saat memberikan janji sudah bertekad untuk tidak menepati maka hal itu adalah nifaq.
“Empat hal siapa yang berada padanya maka dia adalah munafiq dan siapa yang salah satu sifat tersebut ada padanya maka pada dirinya ada salah satu sifat nifaq hingga ditinggalkannya: Apabila berbicara berdusta, apabila berjanji mengingkari, apabila membuat kesepakatan berkhianat, dan apabila bertengkar berlaku curang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
1.b.xi. Penyakit Kesebelas: Berdusta dalam Perkataan dan Sumpah
“Sesungguhnya dusta membawa kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakaan menyeret ke neraka, dan sesungguhnya seseorang berdusta hingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi saw. bersabda :
“Aku (bermimpi) melihat seolah-olah ada orang yang datang kepadaku seraya berkata “bangunlah”, lalu aku bangkit bersamanya, kemudian tiba-tiba aku bertemu dua orang lelaki; yang satu berdiri sedangkan yang lain duduk. Di tangan orang yang berdiri ada pengait dari besi lalu menjejalkannya ke dagu orang yang dudul lalu menariknya hingga sampai ke pundaknya, kemudian ia menariknya lalu menjejalkannya ke sisi yang lain lalu memanjangkannya; apabila ia memanjangkannya maka sisi yang lain kembali seperti semula. Kemudian aku bertanya kepada orang yang membangunkan aku, ‘apa ini?’ Ia berkata, ‘Ini adalah seorang pendusta yang disiksa di kuburnya hingga hari kiamat’.” (HR. Bukhari)
Rasulullah saw. bersabda dalam keadaan bersandar: “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang dosa-dosa besar yang paling besar, yaitu menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Kemudian Rasulullah saw. duduk dan bersabda: “Ketahuilah dan berkata dusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya seorang hamba berdusta sekali sehingga malaikat menjauh darinya sejauh perjalanan satu mil karena busuknya apa yang diperbuatnya itu.” (HR. Tirmidzi)
Dusta yang Ditoleransi
Maimun bin Mahran berkata, “Dusta dalam sebagian perkara lebih baik dari kejujuran. Bagaimanakah pendapatmu jika ada seseorang yang mengejar orang lain dengan membawa pedang untuk membunuhnya lalu orang yang dikejar itu masuk rumah, kemudian orang yang mengejar itu bertanya kepadamu ‘Apakah kamu melihat si Fulan?’. Apa yang akan Anda katakana? Tidakkah Anda menjawabnya, ‘Tidak tahu?’ Anda tentu tidak jujur kepadanya, tetapi kedustaan ini wajib Anda lakukan.
Pembicaraan adalah sarana untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan terpuji yang bisa dicapai dengan kejujuran dan kedustaan maka melakukan kedustaan dalam hal ini adalah haram. Jika bisa dicapai dengan kedustaan tetapi tidak bisa dicapai dengan kejujuran maka kedustaan dalam hal ini adalah mubah, jika pencapaian hal itu memang mubah, atau wajib jika pencapaian tujuan itu sendiri wajib dilakukan.
Dari Ummu Kultsum, ia berkata: Aku tidak pernah mendengar Rasulullah saw. memberikan keringanan dalam berdusta kecuali menyangkut tiga hal: Seseorang yang mengucapkan perkataan untuk tujuan perdamaian, seseorang yang mengucapkan perkataan dalam perang dan seseorang yang berbicara kepada istrinya atau istri yang berbicara kepada suaminya.” (HR. Muslim)
Ketiga hal tersebut di atas merupakan pengecualian (untuk berdusta) yang disebutkan secara tegas, sedangkan hal-hal lain bisa disamakan dengannya jika terkait dengan tujuan yang benar.
1.b.xii. Penyakit Keduabelar: Menggunjing (Ghibah)
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (al-Hujurat:12)
.”Setiap Muslim bagi Muslim yang lain haram darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
“Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, dan janganlah kalian saling membuat makar. Janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para shahabat ra. saling bertemu dengan gembira dan tidak menggunjing bila saling berpisah. Mereka menganggap hal tersebut sebagai amal perbuatan yang paling utama sedangkan kebalikannya merupakan tradisi orang-orang munafiq.
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (al-Humazah:1)
Ibnu Abbas berkata, “Apabila kamu hendak menyebut aib saudaramu maka ingatlah aib dirimu sendiri.”
Makna Ghibah dan Batasannya
Ghibah ialah menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disukainya seandainya ia mendengarnya, baik kamu menyebutkan dengan kekurangan yang ada pada badan (menyebut pendek, hitam dan semua hal yang menggambarkan sifat badannya yang tidak disukainya), nasab (mengatakan hina), akhlaq (mengataka buruk akhlaqnya, sombong, pengecut, dan lain sebagainya), perbuatan, perkataan, agama atau dunianya, bahkan pada pakaian, rumah dan kendaraannya.
Nabi saw. bersabda: “Tahukan kalian apa itu ghibah?” Sahabat menjawab, “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi saw. bersabda: “Kamu menyebut saudaramu dengan hal yang tidak disukainya.” Ditanyakan, “Bagaimana jika apa yang aku katakana itu ada pada diri saudaraku itu?” Nabi saw. menjawab: “Jika apa yang kamu katakana itu ada pada dirinya maka sungguh kamu telah menggunjingnya dan jika tidak ada pada dirinya maka sungguh kamu telah menyebutkan hal yang dusta tentang dirinya.” (HR. Muslim)
Ghibah tidak Hanya Terbatas pada Lidah
Isyarat, anggukan, picingan, bisikan, tulisan, gerakan dan semua hal yang memberi pemahaman tentang apa yang dimaksud, maka ia masuk ke dalam ghibah dan diharamkan.
Contoh diantaranya adalah berjalan menirukan cara berjalannya. Ini adalah ghibah bahkan lebih berat dari ghibah dengan lidah, karena ia lebih kuat dalam penggambaran dan pemberian kesan.
Bentuk ghibah lainnya adalah mendengarkan ghibah dengan mengaguminya, karena dengan memperlihatkan kekagumannya sesungguhnya dia telah mendorong semangat orang yang melakukan ghibah. Bahkan orang yang diam saja ketika mendengar ghibah sama dengan orang yang melakukan ghibah.
Orang yang mendengar ghibah tidak terbebas dari dosa kecuali dengan mengingkari secara lisan atau dengan hatinya jika takut. Jika mampu melakukannya atau memotong omongannya dengan omongan lain tetapi dia tidak melakukannya maka dia berdosa.
“Siapa yang membela kehormatan saudaranya yang sedang dipergunjingkan, maka Allah akan membebaskannya dari api neraka.” (HR. Ahmad dan Thabrani)
Hal-hal yang Mendorong Ghibah
Secara umum, pendorong ghibah terangkum dalam sebab-sebab berikut :
Pertama, melampiaskan kemarahan.
Kedua, menyesuaikan diri dengan kawan-kawan, berbasa-basi kepada teman dan mendukung pembicaraan mereka. Apabila mereka “berpesta” dengan menyebutkan aib orang, maka ia merasa kalau perbuatan mereka itu ditentang pasti mereka berkeberatan dan menjauhi dirinya. Karena itu ia kemudian mendukung mereka dan menganggap hal tersebut sebagai pergaulan yang baik dan basa-basi dalam persahabatan.
Ketiga, ingin mendahului menjelek-jelekkan keadaan orang yang dikhawatirkan memandang jelek ihwalnya di sisi orang yang disegani.
Keempat, keinginan bercuci tangan dari perbuatan yang dinisbatkan (disebutkan) kepada dirinya.
Kelima, ingin membanggakan diri. Yaitu mengangkat dirinya dengan menjatuhkan orang lain. Misalnya berkata, “Si Fulan itu bodoh.” Maksud terselubung dari ucapannya ini adalah untuk mengukuhkan keunggulan dirinya dan memperlihatkan bahwa dirinya lebih tahu ketimbang orang tersebut.
Keenam, kedengkian.
Ketujuh, bermain-main, senda gurau, dan mengisi waktu kosong dengan lelucon.
Kedelapan, melecehkan dan merendahkan orang lain demi untuk menghinakannya. Penyebabnya adalah kesombongan dan menganggap kecil orang yang direndahkan itu.
Obat yang dapat Mencegah Lidah dari Ghibah
(a) Mengetahui bahwa ghibah dapat mendatangkan kemurkaan Allah
(b) Mengetahui bahwa ghibah dapat membatalkan kebaikan-kebaikannya di hari kiamat
(c) Mengetahui bahwa ghibah dapat memindahkan kebaikan-kebaikannya kepada orang yang digunjingnya, sebagai ganti dari kehormatan yang telah dinodainya; jika tidak memiliki kebaikan yang bisa dialihkan maka keburukan-keburukan orang yang digunjingnya akan dialihkan kepadanya.
(d) Jika hamba meyakini berbagai nash tentang ghibah niscaya lidahnya tidak akan melakukan ghibah karena takut kepada hal tersebut.
(e) Akan bermanfaat juga jika dia merenungkan tentang dirinya. Jika mendapatkan cacat maka ia sibuk mengurusi cacat dirinya dan merasa malu untuk tidak mencela dirinya lalu mencela orang lain.
(f) Akan bermanfaat baginya jika dia mengetahui bahwa orang lain merasa sakit karena ghibah yang dilakukannya sebagaimana dia merasa sakit bila orang lain menggunjingnya.
Sedangkan pengobatan secara rinci, adalah dengan memperhatikan sebab yang mendorong melakukan ghibah, karena obat penyakit adalah dengan memutus sebab-sebabnya.
Haramnya Ghibah dengan Hati
Buruk sangka adalah haram sebagaimana perkataan yang buruk juga haram.
Adapun lintasan-lintasan pikiran maka hal itu dima’afkan, bahkan keraguan hati juga dima’afkan, tetapi yang dilarang adalah prasangka.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (al-Hujurat:12)
Anda tidak boleh meyakini keburukan orang lain kecuali bila Anda telah melihatnya dengan nyata sehingga tidak dapat diartikan dengan hal lainnya.
Beberapa Alasan yang Memberikan Rukhshah dalam Ghibah
1) Mengadukan kezhaliman.
2) Menjadi sarana untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar
3) Meminta fatwa
4) Memperingatkan orang Muslim dari keburukan
5) Jika orang yang disebutkan sudah dikenal dengan nama julukan yang mengungkapkan tentang cacatnya.
6) Jika orang yang disebutkan melakukan kefasikan secara terang-terangan
1.b.xiii. Penyakit Ketigabelas : Melibatkan Diri Secara Bodoh pada Beberapa Pengetahuan dan Pertanyaan yang Menyulitkan
Orang awam merasa senang melibatkan diri pada pengetahuan, karena syetan menumbuhkan khayalan bahwa dirinya termasuk kalangan ulama’ dan orang yang memiliki keutamaan. Syetan terus menimbulkan khayalan itu hingga dia berbicara tentang pengetahuan yang membawanya kepada kekafiran sedangkan dia tidak menyadarinya. Setiap orang yang ditanya tentang pengetahuan yang rumit sedangkan pemahamannya belum mencapai tingkatan tersebut maka ia adalah tercela. Karena sesungguhnya dia dalam kaitannya dengan pengetahuan tersebut sangat awam.
Maraji’
Sa’id bin Muhammad Daib Hawwa, Mensucikan Jiwa : Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu
0 komentar:
Posting Komentar