2.1 Definisi
Peripheral Nerve Injury atau cedera saraf perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kerusakan saraf di luar otak atau sumsum tulang belakang. Cedera saraf perifer biasanya disebabkan oleh trauma. Sebuah cedera saraf perifer terjadi ketika setiap saraf di tubuh yang tidak di otak atau sumsum tulang belakang rusak.
Jika saraf perifer rusak kemudian otot disuplai oleh saraf yang tidak menerima informasi dari otak, maka organ yang hanya dipersarafi oleh saraf perifer menjadi lemah atau lumpuh. Kerusakan saraf juga berarti bahwa otak tidak menerima informasi dari tubuh. Hal ini menimbulkan bebrapa sensasi pada tubuh seperti mati rasa, kesemutan dan nyeri. Tidak seperti tulang belakang, saraf perifer memiliki kemampuan untuk disembuhkan.
Menurut WHO, technical report series 645, 1980 : batasan neuropati saraf tepi atau kematian saraf perifer adalah kelainan menetap (lebih dari beberapa jam) dari neuron sumsum tulang, neuron motorik batang otak bagian bawah, sensorimotor primer, neuron susunan saraf autonom perifer dengan kelainan klinis, elektroneurografik dan morfologik
Salah satu contoh dari cedera saraf perifer adalah polineuropati. Polineuropati adalah neuropati dengan lesi utama pada neuron. Pada umumnya polineuropati dapat menyebabkan kelainan simetris dan bilateral pada sistem saraf tepi. Kelainan ini dapat berbentuk motorik, sensorik, sensorimotor atau autonomik. Distribusinya dapat proksimal, distal atau umum. Polineuropati mengakibatkan kelemahan atau paralyse pada beberapa bagian tubuh. Kerusakan ini dapat disembuhkan seperti kerusakan pada sistem saraf perifer lainnya karena ujung saraf akson yang rusak memiliki kemampuan untuk degenarasi aksonal.
2.3 Etiologi
- 1. Secara langsung, akibat luka terbuka
- 2. Secara tidak langsung karena peregangan
- 3. Pada patah tulang atau dislokasi sendi
- 4. Karena tekanan akibat pembidaian, pemasangan torniket atau tidakan pembalutan
- 5. Iskemia pada emboli arteri atau sindrom kompartemen
- 6. Penyuntikan yang mengenai saraf
2.4 Manifestasi Klinis
- 1. Kausalgia yaitu nyeri hebat seperti terbakar, sepanjang distribusi serabut saraf yang mengalami kerusakan persial.
- 2. Hiperestesia
- 3. Perubahan trofik pada kulit
- 4. Hiperaktivitas vasomotor, hiperaktivitas kerja syaraf yang menimbulkan perubahan pada diameter pembuluh darah, biasanya vasokontriksi.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi cedera saraf digambarkan oleh Seddon pada tahun 1943 dan oleh Sunderland pada tahun 1951. Klasifikasi cedera saraf digambarkan oleh seddon neurapraxia terdiri dari, aksonotmesis, dan neurotmesis. Sunderland memperluas sistem klasifikasi menjadi 5 derajat cedera saraf.
- Cedera saraf Tingkat pertama
Disebut juga neuropraxia, berupa kerusakan pada serabut myelin, hanya terjadi gangguan kondisi saraf tanpa terjadinya degenrasi wallerian. Saraf akan sembuh dalam hitungan hari setelah cedera, atau sampai dengan empat bulan.penyembuhan akan sempurna tanp ada masalah motorik dan sensorik.
- Cedera saraf tingkat dua
Disebut juga axonotmesis, terjadi diskotinuitas myelin dan aksonal, tidak melibatkan jaringan encapsulating, epineurium dan perineurium, juga akan sembuh sempurna. Bagaimanapun, penyembuhan akan terjadi lebih lambat daripada cedera tingkat pertama.
- Cedera saraf tingkat tiga
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson dan endoneurium. Cedera juga akan sembuh dengan lambat, tetapi penyembuhannya hanya sebagian.penyembuhan akan tergantung pada beberapa faktor, sepertisemakin rusak saraf, semakin lama pula penyembuhan terjadi.
- Cedera saraf tingkat empat
Cedera ini melibatkan kerusakan myelin, akson, endoneurium dan perineurium. Cedera derajat ini terjadi bila terdapat skar pada jaringan saraf, yang menghalangi penyembuhan.
- Cedera saraf tingkat lima
Cedera ini melibatkan pemisahan sempurna dari saraf, seperti saraf yang terpotong. Cedera saraf tingkat empat dan lima memerlukan tindakan operasi untuk sembuh.
Tabel 1. Klasifikasi cedera saraf
Derajat cedera saraf
|
Myelin
|
Akson
|
Endoneurium
|
perineurium
|
epineurium
|
|
+/-
|
Tidak
|
tidak
|
tidak
|
tidak
|
|
Ya
|
Ya
|
tidak
|
tidak
|
Tidak
|
III
|
Ya
|
Ya
|
ya
|
tidak
|
Tidak
|
IV
|
Ya
|
Ya
|
ya
|
ya
|
Tidak
|
V. Neurotmesis
|
Ya
|
Ya
|
ya
|
ya
|
Ya
|
Tabel 2. Cedera saraf, penyembuhan dan tindakan bedah
Derajat cedera saraf
|
Penyemban spontan
|
Waktu penyembuhan
|
Tindakan bedah
|
First neupraxia |
Penuh
| Berlangsung dalam hitungan hari smpai 4 bulan setelah cedera |
tidak
|
Second Axonotmesis |
Penuh
| Regenerasi terjadi kira-kira 1inci perbulan |
tidak
|
Third |
Parsial
| Regenerasi terjadi kira-kira 1inci perbulan |
ya
|
Fourth |
Tidak ada
| Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira-kira 1 inci per bulan |
ya
|
Fifth Neurotmesis |
Tidak ada
| Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira-kira 1 inciper bulan. |
ya
|
2.6 Komplikasi
- Remisi spontan
- Distrofi reflex simpatik à Penyakit ini diyakini sebagai reaksi berantai abnormal dari sistem saraf simpatik, yakni sistem tubuh yang mengatur aliran darah di kulit. Penyakit ini secara spontan bisa hilang dengan sendirinya tapi kalau sudah timbul luar biasa sakitnya.
- Kontraktur miogen akibat paralisis otot sebagai akibat keterlambatan timbulnya kontraktur atrogen
- Penyakit kaki diabetic akinat anesthesia dan gangguan saraf autonom
2.7 Patofisiologi
Sistem saraf meliputi saraf perifer di wajah, lengan, kaki, badan, dan beberapa saraf kranial. Sistem Ini berkomunikasi antara saraf otak dan otot, kulit, organ internal dan pembuluh darah. Apabila sel saraf perifer mengalami kerusakan terutama pada selubung mielin, maka perjalanan impuls dari sistem saraf pusat akan terputus dan tidak ada respon yang ditimbulkan oleh organ efektor. Kerusakan ini dapat disebabkan oleh Demyelination yakni, kehancuran atau hilangnya selubung mielin.
Ketika myelin mengalami degradasi, konduksi sinyal di sepanjang saraf bisa terganggu atau hilang dan saraf akhirnya layu. Sistem kekebalan mungkin memainkan peran penting dalam hal ini terkait dengan penyakit yang diderita, termasuk peradangan dapat menjadi penyebab karena produksi sitokin yang banyak melalui regulasi faktor nekrosis tumor (TNF) [3] atau interferon.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik, meliputi :
1. Elektromiografi (EMG)
Elektromiografi dapat memberikan pemantauan secara berkesinambungan fungsi saraf kranial dan perifer. Jika struktur saraf teriritasi saat manipulasi operasi, aktivitas elektromiografi akan tampak pada otot yang diinervasi saraf tersebut. Iritasi ringan menyebabkan aktivitas EMG transien sedangkan cedera yang lebih serius menyebabkan aktivitas EMG yang lebih panjang. Elektrokauter dan irigasi cairan salin merupakan etiologi mayor interferensi EMG. Pemantauan intraoperatif melalui EMG dapat digunakan untuk (1) mempreservasi fungsi nervus fasialis pada tindakan operatif basis cranii, misalnya reseksi neuroma akustik, (2) memonitor fungsi nervus kranialis yang menginervasi otot, yaitu nervus III, IV, VI, IX, X, XI, dan XII, (3) memonitor fungsi medula spinalis dan akar saraf spinal saat operasi spinal. Elektroda diletakkan pada otot yang diinervasi oleh saraf yang terancam cedera selama operasi. Pada operasi stabilisasi vertebra, pedicle screw dapat distimulasi langsung untuk menentukan ada tidaknya penetrasi ke kanalis spinalis. Penggunaan agen pelemas otot yang memblok neuromuscular junction sebaiknya dikontrol sehingga tidak mempengaruhi interpretasi. Elektromiografi (EMG) studi memungkinkan lokalisasi cedera saraf tepi dan memberikan informasi tentang prognosis. Tes EMG terdiri dari dua bagian: studi konduksi saraf (baik motor dan sensorik) dan pemeriksaan jarum elektroda. Studi ini idealnya harus dilakukan 3 minggu setelah cedera. EMG Sebuah dilakukan jika pleksus saraf tepi atau cedera saraf akar diduga, untuk mengkonfirmasi adanya cedera saraf, serta menilai keparahan dan lokasi. Studi-studi ini biasanya dilakukan oleh ahli saraf.
2. Potensial Aksi Saraf Sensori (SNAP)
Pemeriksaan SNAP membantu menilai tingkat regangan pada cedera pleksus brakhial. Lesi tingkat akar yang terbatas didaerah preganglion dan tidak meluas kedaerah postganglion berakibat hilangnya sensori distal lengkap dan tetap mempertahankan konduksi sensori distal. Yang terakhir ini bertahan karena kerusakan serabut sensori distal ganglion akar saraf tidak berdegenerasi. Retensi konduksi sensori dari daerah anestetik dapat diperiksa dengan merangsang jari pada distribusi C6 (jempol dan telunjuk), C6-7-8 (jari tengah) dan C8-T1 (kelingking dan jari manis) dan pencatatan saraf median, radial dan ulnar diproksimal. Adanya potensial aksi saraf sensori campuran memastikan cedera pre-ganglionik pada distribusi satu akar atau lebih. Karena distribusi sensori akar didistal tumpang tinduh dengan satu atau lebih akar lain, sulit menentukan dengan pemeriksaan ini bahwa satu akar, misalnya C6, adalah suatu cedera preganglionik. Stimulasi telunjuk (bahkan jempol) yang anestetik dapat menimbulkan SNAP pada distribusi saraf median bila baik akar C6 atau C7, atau C6 dan C7, rusak pada tingkat preganglionik. Ini menjadikannya sulit untuk menentukan pada pemeriksaan SNAP apakah cedera akar C6 terjadi preganglionik. Keadaan ini kurang jelas pada akar C5 karena tidak ada stimulasi noninvasif spesifik atau daerah pencatatan untuk hantaran ini: Penilaian
teliti akar sebelah atas dengan pencatatan SNAP tidak mungkin pada tingkat ini.
3. Somatosensory-Evoked Potential (SSEP)
Pemeriksaan SSEP digunakan menilai tingkat cedera, apakah praganglionik atau postganglionik, pada lesi pleksus brakhial. Ia bernilai terbatas pada bulan-bulan
pertama cedera. Pemeriksaan somatosensori berguna pada saat operasi atas cedera brakhial karena regangan atau kontusi. Bila cedera postganglionik, stimulasi akar
proksimal dari tingkat cedera membangkitkan potensial somatosensori diatas tulang belakang servikal (SSP) dan membangkitkan (evoked) respons kortikal diatas kranium kontralateral (ECR). Bila cedera praganglionik atau pra dan postganglionik, stimulasi terhadap akar, bahkan didalam atau dekat foramen intervertebral, tidak akan
membangkitkan respons apapun. Reparasi jarang berhasil. Sayangnya, timbulnya SSP atau ECR mungkin hanya memerlukan beberapa ratus serabut yang intak antara
daerah yang distimulasi dan daerah perekaman, hingga respons positif hanya memastikan keutuhan minimal saraf atau akar spinal. ECR negatif lebih penting dari ECR positif.
4. Potensial Aksi Saraf Intrabedah (NAP)
Mencakup pemeriksaan NAP batang saraf pada setiap sisi lesi. Karena pelacakan yang ideal untuk memutuskan apakah akan mereparasi saraf 8 minggu setelah cedera,
NAP menjadi pemeriksaan definitif yang penting bila dicurigai adanya neuroma yang parah pada kontinuitas dan otot sasaran pertama berjarak lebih dari 3 inci
dibawahnya.
Hal penting pada perekaman NAP adalah:
1. Tampilan neuroma yang parah pada kontinuitas tidak perlu berhubungan dengan arsitektur internal.
2. Bila akson mempunyai kemampuan melintas lesi, sudah dapat direkam oleh NAP jauh sebelum akson mampu mencapai target.
3. Tehnik ini terutama berguna pada lesi saraf ekstremitas bawah dimana otot sasaran pertama terletak 6-8 inci dibawah lesi. Jadi stimulasi saraf dan EMG tidak dapat memastikan hal ini untuk 6-8 bulan atau lebih, jadi penting bahwa rencana reseksi diambil sebelum masa tersebut.
Perekaman NAP juga sangat membantu menentukan perluasan lesi pleksus brakhial dan memberikan indeks atas berapa banyak puntung proksimal dari lesi akan direseksi. Kebanyakan cedera pleksus brakhial yang dipilih untuk operasi akan memiliki satu atau lebih elemen keutuhan, namun dengan sejumlah variabel
kkerusakan intraneural. Perekaman NAP intrabedah membantu menentukan akan perlunya reseksi. Disaat operasi, pengamatan terpenting adalah merekam ada atau tidaknya respons, bukan bentuk atau bahkan kecepatannya. Respons NAP regeneratif adalah kecil dan biasanya lambat, sedang yang diakibatkan adanya sisa bagian yang utuh mungkin kecil namun biasanya lebih cepat atau mempunyai hantaran pada jangkauan normal. Bila cedera praganglionik tanpa cedera postganglionik, perekaman yang lebih distal akan memperlihatkan penghantaran cepat, NAP besar, tepat seperti mendiagnostik tiadanya SSP atau ECR bila akar distimulasi pada tingkat ini.
Pemeriksaan Radiologis
- Sinar-X Tulang Belakang Servikal dll Fraktura tulang belakang servikal sering berhubungan dengan cedera regang proksimal yang berat yang tidak dapat direparasi, paling tidak pada tingkat akar ruas tulang belakang bersangkutan. Fraktura tulang lain seperti humerus, klavikula, skapula dan/atau iga, bila diamati memberikan perkiraan kasar atas kekuatan yang menghantam bahu, lengan atau leher, namun tidak selalu membantu menentukan tingkat atau luasnya cedera. Kerusakan pleksus biasanya lebih proksimal dibanding sisi fraktura yang tampak, sering pada tingkat akar. Fraktura humerus tengah terutama berkaitan dengan cedera saraf radial. Fraktura kominuta radius dan ulna pada tingkat lengan bawah tengah juga berkaitan dengan cedera saraf median dan ulner, dan terkadang dengan palsi saraf interosseus posterior. Komponen peroneal saraf siatik sering, namun tidak selalu, terkena secara khusus pada dislokasi atau cedera panggul. Fraktura femur bawah dan fraktura tibial dan fibuler bisa mengenai saraf peroneal dan/atau tibial. Sekali lagi, cedera saraf mungkin lebih proksimal dari daerah fraktura yang diperkirakan. Fraktura femur tengah bisa berkaitan dengan cedera regang siatik lebih keproksimal pada tingkat bokong. Radiograf dada bisa menampakkan elevasi diafragma yang tidak berfungsi, yang berarti paralisis saraf frenik. Ini tanda prognosis yang relatif buruk untuk reparasi akar saraf C5 setelah cedera tertutup, karena biasanya berarti kerusakan proksimal pada tingkat leher.
- Mielografi
Bisa menjadi bagian penting dalam mengelola pasien dengan cedera regang pleksus brakhial berat. Biasanya tidak diindikasikan untuk lesi pleksus ditingkat infra klavikuler atau aksiler (kebanyakan luka tembak pada pleksus), kecuali ada bukti radiologis kerusakan tulang belakang servikal atau trayeknya supraklavikuler medial. Meningosel pada tingkat bersangkutan menunjukkan tenaga yang cukup telah terjadi pada tingkat akar proksimal yang merobek arakhnoid dan menyebabkan bocornya agen kontras. Ini tidak harus berarti bahwa akar mengalami avulsi dari kord spinal. Lebih sering adanya meningosel menunjukkan walau akar mungkin secara kasar masih utuh, terdapat kerusakan internal yang bermakna pada tingkat yang sangat proksimal. Sejumlah pasien dengan kerusakan tingkat akar dimana tidak terdapat meningosel (biasanya ditingkat akar yang lebih atas) dapat direparasi dengan baik, walau terdapat meningosel pada akar lain (biasanya pada tingkat yang lebih bawah). Walau demikian, bila terdapat meningosel, paling sering kerusakan pada proksimal akar, karenanya tidak dapat direparasi. Temuan ini juga menjadikan bahwa kerusakan pada tingkat lain yang tidak dengan adanya meningosel adalah sangat proksimal lebih mungkin. Mielografi modern dengan kontras larut air bisa menampilkan akar-akar pada ruang subarakhnoid, dan membandingkan sisi terkena dan sisi sehat menentukan daerah disrupsi akar. Mielografi tetap berguna membantu perencanaan pada cedera pleksus.
- Tomografi Terkomputer (CT) dan Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Pemaparan tomografi terkomputer dengan kontras intra-tekal dimanfaatkan pada cedera regang walau terkadang abnormalitas tetap tidak dijumpai karena irisan
biasanya tidak cukup rapat untuk mencakup semua daerah akar pada setiap tingkat. Akibatnya, mielografi tetap merupakan pemeriksaan radiologis yang disukai.
Pencitraan resonansi magnetik mungkin membantu menampilkan akar saraf. Pemeriksaan MRI ini hanya memperkuat mielogram dan tidak menggantikannya. CSS didalam meningosel dapat tampak pada MRI, namun biasanya kurang jelas bila dibanding mielografi.
- Tes konduksi saraf
- Nerve biopsi
- Spinal tekan
Tes lainnya yang dilakukan tergantung pada penyebab yang dicurigai kondisi, dan dapat mencakup x-ray, imaging scan, dan tes darah.
2.9 Penatalaksanaan
Dalam mengelola pasien dengan peripheral nerve injury perlu mengetahui mekanisme cedera, respons patologis, dan kapasitas regenerasi yang akan terjadi. Rencana atas apakah akan dilakukan operasi, bila akan dioperasi, dan apa yang dilakukan bila lesi terbuka berdasar pada tidak hanya atas pengertian akan patologi pemulihan, namun juga akan beberapa hal yang membatasi regenerasi neural dalam arti pemulihan fungsional praktis. Pemeriksaan klinis, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan pemeriksaan radiologis akan membantu dalam membuat keputusan.
Penilaian Klinis
- Pemeriksaan Motor
Penekanan atas pemeriksaan motor secara klinis untuk cedera saraf spesifik adalah tahap terpenting dalam mengelola semua cedera saraf, adalah pemeriksaan teliti anggota, dengan perhatian besar pada semua fungsi motor dan sensori. Pemeriksaan harus menentukan apakah kehilangan distal sisi cedera lengkap atau tidak. Hanya ini yang akan menjelaskan pada pemeriksaan selanjutnya terjadi perubahan atau tidak. Pemeriksaan motor adalah cukup sebagai bukti regenerasi bila pemulihan jelas. Pengamatan klinis fungsi motor volunter dapat juga ditentukan dengan respons motor terhadap stimulasi. Stimulasi saraf terutama berguna dalam pengenalan awal adanya pemulihan peroneal memadai dan mencegah perlunya operasi. Pasien dengan cedera saraf peroneal tidak mampu memulai aksi volunter pada otot peroneal dan tibial
anterior (eversi dan dorsifleksi kaki). Ini berlangsung beberapa minggu setelah perbaikan elektrofisiologis yang ditunjukkan oleh kontraksi otot yang kuat pada stimulasi saraf peroneal:
(1) tepat dibelakang kepala fibula, atau
(2) tepat didalam hamstring lateral, dimana batang saraf mudah dipalpasi. Penting pertama-tama memastikan bahwa otot yang diamati berkontraksi pada distribusi dari saraf yang diharapkan untuk distimulasi.
- Tanda Tinel
Melakukan penekanan pada pertengahan ligamentum carpi transversum (volare). positif jika timbul nyeri, yang berarti terdapat. penjepitan saraf (entrapment).Tanda Tinel positif hanya menunjukkan regenerasi serabut halus dan tidak menunjukkan apapun tentang kuantitas dan kualitas yang sebenarnya dari serabut yang baru.
Dsisi lain, interupsi saraf total ditunjukkan oleh tiadanya respons sensori distal (tanda Tinel negatif) setelah waktu yang memadai telah berlalu untuk terjadinya regenerasi serabut halus (4-6 minggu). Tanda Tinel negatif lebih bernilai dalam penilaian klinis
dibanding tanda Tinel positif.
- Berkeringat
Kembalinya keringat didaerah otonom menunjukkan regenerasi serabut simpatis bermakna. Pemulihan ini mungkin mendahului pemulihan motori atau sensori dalam beberapa minggu atau bulan, karena serabut otonom pulih dengan cepat. Pemulihan berkeringat tidak selalu berarti akan diikuti fungsi motori atau sensori.
- Pemulihan Sensori
Pemulihan sensori sejati adalah tanda yang berguna, terutama bila terjadi didaerah otonom dimana tumpang tindih saraf berdekatan minimal. Daerah otonom saraf median adalah permukaan volar dan dorsal telunjuk dan permukaan volar jempol. Saraf radial tidak mempunyai daerah otonom yang tegas. Bila terjadi kehilangan sensori pada distribusi ini, biasanya mengenai sejumput daerah anatomis tertentu. Daerah otonom saraf ulnar adalah permukaan palmar 11 falang distal kelingking. Daerah otonom saraf tibial adalah tumit dan sebagian telapak kaki, sedang saraf peroneal adalah tengah dorsal kaki. Sayangnya pemulihan sensori, bahkan pada daerah otonom, tidak pasti diikuti pemulihan motori.
3.1.3 Diagnosa Keperawatan
- Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan paralisis ekstremitas.
- Nyeri berhubungan dengan iritasi atau tekanan saraf/
- Retensi urin b.d kerusakan neuromuskuler ( kehilangan sensasi dan refleks spfingter).
- Resiko tinggi infeksi b.d ulkus pada kaki karena kerusakan pada sistem saraf.
- Resiko tinggi cedera berhubungan dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu.
3.1.4 Intervensi
1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan paralisis ekstremitas.
Tujuan : Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi
Kriteria hasil : Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang memungkinkan dilkukannya kembali aktivitas.
Intervensi | Rasional |
Letakkan pasien pada posisi tertentu, untuk menghindari kerusakan karena tekanan. Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi antara waktu perubahan posisi tersebut | Perubahan posisi yang teratur menyebabkan penyebaran terhadap berat badan dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagia tubuh. Jika ada paralisis atau keterbatasan kognitif pasien harus diubah posisinya secara teratur dan posisi dari daerah yang sakit hanya dalam jangka waktu yang sangat terbatas. |
Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab, ganti pakaian yang basah, dan pertahankan pakaian tersebut tetap bersih dan bebas dari kerutan. | Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan resiko terjadinya ekskoriasi kulit. |
Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi | Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengarruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan |
Ajarkan dan motivasi klien untuk |
2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan pada neuron
Tujuan : nyeri berkurang
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri berkurang., mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri, mendemostrasikan penggunaan keterampilan, relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu
Intervensi | Rasional |
Mandiri Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan Lakukan perubahan posisi secara teratur. Berikan sokongan dengan bantal, busa, atau dengan selimut Beikan latihan tentang gerak secara pasif Kolaborasi Berikan obat analgetik sesuai dengan kebutuhan. Hindari penggunaan narkotika Bantu dengan terapi terapi alternatif seperti ultrason, diatermia, dan menggunakan unit TENS | Menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri tersebut Membantu menghilangkkan kelelahan dan tegangan otot Menurunkan kekakuan pada sendi Berguna untuk meninggalkan rasa nyeri ketika merode lain yang telah dicoba tidak memerikan hasil yang memuaskan Bermanfaat dalam menghilangkan ketidaknyuamanan pada otot. |
- 3. Retensi urin b.d kerusakan neuron ( kehilangan sensasi dan refleks kandung kemih).
Tujuan : tidak terjadi retensi urin
Kriteria hasil : mendemonstrasikan pengosongan kandung kemih adekuat / tepat waktu tanpa retensi.
Intervensi | Rasional |
Mandiri Catat frekuensi dan jumlah berkemih Lakukan palpasi abdomen ( diatas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih Anjurkan pasien untuk minum paling tidak 2000 ml / dalam batas toeransi jantung dan juga termasuk minum juice buah. Lakukan maneuver Crede Kolaborasi Lakukan kateterisasi pada residu urine ( kateterisasi intermiten ) sesuai kebutuhan. Pasang / pertahan kan kateter indwelling sesuai kebutuhan. | Memberikan informasi selama pengkajian dari fungsi kandung kemih Jika refleks spfingter tidak ada, kandung kemih akan penuh dan selanjutnya akan menjadi distensi. Mempertahankan laju filtrasi glomerulus dan menurunkan resiko infeksi dan pembentukan batu pada saluran perkemihan. Tekanan manual di atas kandung kemih dapat memfasilitasi pengosongan kandung kemih tersebut. Memantau keefektifan dari pengosongan kandung kemih. Mungkin diperlukan untuk menanggulangi terjadnya retensi urinarius atau sampai terjadinya resolusi ( perbaikan ) dan adanya perbaikan adekuat dari kontrol kandung kemih. |
0 komentar:
Posting Komentar