meta charset='utf-8'/> Asuhan Keperawatan Facial Palsy | Kumpulan Asuhan Keperawatan
Home » » Asuhan Keperawatan Facial Palsy

Asuhan Keperawatan Facial Palsy

Written By Unknown on Jumat, 19 Juli 2013 | 09.21


2.2 Definisi

Facial palsy atau kelumpuhan saraf fasial merupakan gejala kelumpuhan otot – otot wajah yang tampak pada waktu penderita berbicara dan dalam keadaan emosi. (Soepardi,dkk. 2003)

Facial Palsy adalah suatu kelainan, kongenital maupun didapat, yang menyebabkan paralisis seluruh ataupun sebagian pada pergerakan wajah. Aksi gerakan pada wajah dimulai dari otak dan berjalan melalui saraf facialis menuju otot-otot di wajah. Otot-otot ini selanjutnya berkontraksi sebagai respon terhadap stimulus. Di dalam tengkorak kepala, saraf facialis adalah suatu saraf tunggal. Setelah keluar dari tengkorak kepala, bercabang menjadi banyak cabang yang menuju ke berbagai otot pada wajah. Otot-otot ini mengendalikan ekspresi wajah. Aktivitas yang terkoordisnasi dari saraf dan otot-otot menyebabkan pergerakan seperti tersenyum, mengedip, menyimak, dan cakupan penuh dari pergerakan wajah normal. Penyakit ataupun cedera yang menyerang otak, nervus facialis ataupun otot-otot pada wajah dapat menyebabkan facial palsy
Facial palsy disebut juga dengan paresis. Paresis menunjukkan suatu kelemahan dalam pergerakan wajah. Palsy biasanya digunakan pada berkurangnya pergerakan sampai hilang sama sekali. (Iwantono, 2008)

Facial palsy adalah paralisis wajah karena keterlibatan perifer saraf kranial yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot wajah (Brunner & Suddarth, 2002).

2.3 Etiologi

Ada berbagai macam keadaan yang dapat menyebabkan fasial palsy. Fasial palsy congenital adalah suatu kondisi yang timbul pada saat lahir. Moebius syndrome adalah suatu kelainan congenital. Dalam kebanyakan kasus penyebab pasti dari congenital palsy adalah tidak jelas. Kurangnya saraf yang cukup dan/atau perkembangan otot menyebabkan kasus congenital palsy. Penyebab dari keadaan tersebut belum diketahui. Kelumpuhan yang lainnya dapat disebabkan karena peregangan dari otot-otot atau saraf selama proses kelahiran. Kebanyakan congenital palsies melibatkan satu sisi wajah dengan pengecualian pada Moebius, yang khasnya bilateral. Sejumlah besar kasus fasial palsy berkembang ketika kelemahan atau kelumpuhan total terjadi selanjutnya dalam kehidupan meskipun suatu pergerakan wajah yang normal pada saat lahir.

Penyebab dari acquired palsy termasuk trauma pada nervus facialis dan otot-otot, peradangan atau infeksi tertentu seperti Lyme disease, dan tumor di dan sekitar daerah kepala dan leher.

Tabel 1: penyebab facial palsy











































Lower Motor Neurone =Bell's PalsyUpper motor neurone
IdiopatikCerebrovascular disease (CVE)
Infectif

Herpes virus (type 1)

Herpes zoster (Ramsay-Hunt syndrome)

Lyme disease

Otitis media atau cholesteatoma
Tumor intracranial, primer dan sekunder
Trauma cth. Fraktur basis kranii, kaematoma setelah akupunturMultiple sclerosis
Neurologis

Multiple sclerosis

Guillain barre

Mononeuropathy – cth. Karena diabetes mellitus, sarcoidosis, atau amyloidosis
syphilis
Meoplastik

Tumor fossa posterior, primer dan sekunder

Tumor kelenjar parotis
HIV
Sjogren’s syndromeVaskulitis
Hipertensi dan eclampsia
Vaksin influenza intranasal, meskipun sudah ditolak
Melkersson’s syndrome (facial palsy rekuren, facial oedema kronis pada wajah dan bibir, dan hipertrofi/fissure pada lidah



Dari beberapa penyebab tersebut, penyebab yang paling sering dari facial palsy adalah:

1. Bell’s palsy

Bell's palsy disebabkan oleh pembengkakan n. facialis sesisi, akibatnya pasokan darah ke saraf tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls/rangsangnya terganggu dan perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.

2. Herpes zoster oticus (Ramsay Hunt Syndrome)

Virus tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan terkena stres fisik ataupun psikik. Reaktivasi virus herpes zoster yang menyerang saraf kranialis dapat menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

3. Otitis media

Bakteri akut maupun kronik dari infeksi telinga tengah dapat menyerang kanal fasialis. Seperti halnya virus, bakteri tersebut dapat menyebabkan respon inflamasi dan terjadi kompresi pada saraf fasial.

4. Lyme disease

Bakteri dapat masuk ke dalam tubuh yang dianggap sebagai benda asing dalam tubuh sehingga terjadi respon inflamasi dan menyebabkan kompresi pada saraf fasial

5. Neoplasma dan trauma

Tumor yang menyerang otak dan trauma pada tengkorak dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dari saraf fasial sehingga penghantaran impuls dari otak ke otot – otot wajah tidak dapat disampaikan dan terjadi kelumpuhan dari otot wajah.



2.4 Manifestasi Klinis

Kelemahan pada otot-otot ekspresi wajah dan ptosis. Wajah seperti terjatuh dan tertarik ke sisi lainnya saat tersenyum. Kelopak mata tidak dapat menutup sempurna dan dapat menyebabkan keruasakan pada konjungtiva dan kornea.

  1. Pada paralisis partial, wajah sebelah bawah umumnya lebih sering terkena.

  2. Pada kasus yang parah, seringkali terdapat hilangnya kemampuan pengecapan

pada lidah bagian depan dan intoleransi terhadap suara nada tinggi atau volume suara tinggi. Dapat menyebabkan dysarthria ringan dan kesulitan saat makan.

Sistem yang paling sering digunakan untuk menggambarkan derajat paralysis adalah skala House-Brackmann, dimana:

  1. Grade I otot bagian muka dapat berfungsi secara normal.

  2. Grade II otot bagian muka menunjukkan sedikit kelemahan dan tidak berfungsi.

  3. Grade III otot muka menampakkan kelemahan yang jelas dan terjadi sedikit pergerakan wajah.

  4. Grade IV penderita tidak dapat menaikkan kening, synkinesis (gerakan asosiasi yang terjadi secara involunter karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut otot yang salah) yang tampak, dan kelemahan bagian muka yang jelas.

  5. Grade V otot muka hampir tidak berfungsi.

  6. Grade VI otot muka tidak dapat berfungsi atau lumpuh.

Perbedaan letak lesi pada Upper Motor Neurone (UMN) atau pada Lower Motor Neurone (LMN) penting untuk diketahui untuk membantu mengetahui kelainan penyebabnya.

  1. Pada suatu lesi LMN pasien tidak dapat mengerutkan dahinya – jalur komunikasi akhir ke otot-otot mengalami kerusakan. Lesinya bisa terjadi pada pons, atau di luar batang otak (fossa posterior, canalis osseosa, telinga tengah ataupun diluar tulang tengkorak).



  1. Pada lesi UMN, otot-otot wajah sebelah atas sebagian tidak terganggu karena jalur alternatif di batang otak sehingga pasien dapat mengerutkan dahinya (kecuali lesinya bilateral) sehingga kerutan-kerutan wajah yang terlihat pada lower motor neurone palsies tidak terlalu mencolok. Tampaknya terdapat jalur yang berbeda antara pergerakan volunter dan emosional.



Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.

  1. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

  1. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.

  1. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.

  1. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

  1. Lesi di daerah meatus akustikus interna

Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

  1. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.



2.5 Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.

Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.



2.6 Diagnosis

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan kelumpuhan n. fasialis perifer.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan n. fasialis sbb:

1)      Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.

2)      Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.

3)      Elektromiografi

Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.

4)      Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).

Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n. fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.

5)      Uji Schirmer

Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter;berkurang atau mengeringnya air mate menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. Genikulatum.



2.7 Penatalaksanaan



  1. Istirahat terutama pada keadaan akut

  2. Medikamentosa

Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.

  1. Fisioterapi

Fisioterapi ini bisa dilakukan dengan melatih ekspresi wajah, seperti tersenyum, mengerutkan dahi, mengedipkan mata, dan lain-lain, bisa dilakukan sambil bercermin.

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.

Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.

  1. Operasi

Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.

Tindakan operatif dilakukan apabila :

  1. tidak terdapat penyembuhan spontan

  2. tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.

Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi).

2.7 Komplikasi

Kira-kira 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik. Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan kelemahan sarag parasimpatik yang menyebabkan lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.



2.8 Prognosis

Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa.

Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3 minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik-fasialis dan sindrom air mata buaya.

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul yaitu:

  1. Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah

  2. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral

  3. Nyeri yang berhubungan dengan interupsi saraf fasial

  4. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur pengobatan



Intervensi

  1. 1.      Diagnose keperawatan: perubahan body image berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah.

Tujuan: body image kembali baik

Kriteria hasil:

  1. Pasien mengungkapkan bahwa dirinya menerima kondisi yang ada pada dirinya (kelumpuhan otot wajah).

  2. Pasien tidak mengalami kecemasan.

  3. Pasien mampu melaksanakan peran dengan kondisi baik pada semua fungsi bio-psiko-sosial.

Rencana tindakan:

Mandiri

  1. Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.

R/ Penentuan faktor – faktor secara individu membantu dalam mengembangkan perencanaan asuhan/pilihan intervensi.

2. Identifikasi arti dari disfungsi/perubahan pada pasien.

R/ Kadang – kadang pasien menerima dan mengatasi gangguan fungsi secara efektif dengan sedikit penanganan, di lain pihak ada juga orang yang mengalami kesulitan dalam menerima dan mengatasi kekurangannya.

3. Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan perasaan marah.

R/ Mendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk mengenal dan mulai memahami perasaan ini.

4. Catat apakah pasien menunjuk daerah yang sakit ataukah pasien mengingkari daerah tersebut dan mengatakan hal tersebut “telah mati”.

R/ Menunjukkan penolakan terhadap bagian tubuh/perasaan negatif terhadap citra tubuh dan kemampuan, menandakan perlunya intervensi dan dukungan emosional.

5. Akui pernyataan perasaan tentang pengingkaran terhadap tubuh, tetap pada kenyataan yang ada tentang realita bahwa pasien masih dapat menggunakan bagian tubuhnya yang tidak sakit dan belajar untuk mengontrol bagian tubuh yang sakit. Gunakan kata – kata (lemah, sakit, kanan-kiri) yang tidak mengasumsikan bahwa bagian tersebut sebagai bagian dari seluruh tubuh.

R/ Membantu pasien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua bagian tubuh tersebut merupakan suatu bagian yang utuh dari seseorang. Memberikan kesempatan pasien untuk merasakan pengharapannya secara penuh dan mulai menerima keadaan yang dialami saat sekarang ini.

6. Tekankan keberhasilan yang kecil sekalipun baik menganai penyembuhan fungsi tubuh ataupun kemandirian pasien.

R/ Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah dan ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan.

7. Bantu dan dorong pasien untuk melakukan latihan pergerakan otot wajah seperti mata sesuai anjuran.

R/ Membantu peningkatan harga diri dan kontrol atas salah satu bagian kehidupan.

8. Dorong orang terdekat agar memberi kesempatan pada pasien untuk melakukan kegiatan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.

R/ Membangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri dan mingkatkan proses rehabilitasi.

9. Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti peningkatan minat/partisipasi pasien dalam kegiatan rehabilitasi.

R/ Mengisyaratkan kemungkina adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.

10. Pantau gangguan tidur, meningkatnya kesulitan untuk berkonsentrasi, pernyataan ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu, letargi dan menarik diri.

R/ Mungkin merupakan indikasi serangan depresi yang mungkin memerlukan evaluasi dan intervensi lebih lanjut.

Kolaborasi

11. Rujuk pada evaluasi neuropsikologis atau konseling sesuai kebutuhan.

R/ Dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu untuk perasaan/merasa menjadi orang yang produktif.

  1. Kolaborasi melakukan tindakan pembedahan atau medika mentosa berdasarkan penyebabnya.

R/ untuk mengatasi perubahan body image kembali baik, pasien mampu melaksanakan peran dengan kondisi baik pada semua fungsi bio-psiko-sosial.

  1. 2.      Diagnose keperawatan: kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan tonus/control otot fasial/oral.

Tujuan: komunikasi verbal terpenuhi.

Kriteria hasil: pasien dapat memahami obyek pembicaraan saat berkomunikasi, ada metode yang tepat untuk digunakan saat berkomunikasi dengan pasien.

Rencana tindakan:

  1. Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.

R/ membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan cerebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi.

  1. Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis dipapan tulis, gambar.

R/ memberikan komunikasi rentang kebutuhan berdasarkan keadaan/deficit yang mendasarinya.

  1. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien.

R/ bermanfaat dalam menurunkan frustasi bila tergantung pada orang lain dan tidak dapat berkomunikasi secara berarti.

  1. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban “ya” atau “tidak”.

R/ menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan berespon pada informasi yang lebih banyak pada suatu waktu tertentu.

  1. Bicara dengan nada normal dan hindari percakapan yang cepat, berikan pasien jarak waktu untuk berespon.

R/ pasien tidak perlu merusak pendengaran, dan meninggikan suara dapat menimbulkan marah pasien/menyebabkan kepedihan.

  1. Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal pasien, seperti pekerjaan, keluarga, dan hobi (kesenangan).

R/ meningkatkan percakapan yang bermakna dan memberikan kesempatan untuk ketrampilan yang praktis.

  1. 3.      Nyeri berhubungan dengan peradangan/infeksi sel saraf.

Tujuan: nyeri berkurang.

Kriteria hasil: pasien menyatakan sudah tidak merasa nyeri atau nyeri sudah berkurang, pasien tidak menunjukkan ada tanda-tanda merasa nyeri.

Rencana tindakan:

  1. Tentukan karakteristik dan lokasi nyeri, perhatikan isyarat verbal dan non verbal.

R/ menentukan tindak lanjut intervensi.

  1. Pantau tekanan darah, nadi dan pernapasan.

R/ nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah meningkat, nadi dan pernapasan meningkat.

  1. Terapkan teknik distraksi.

R/ mengalihkan perhatian dari rasa nyeri.

  1. Ajarkan teknik relaksasi dan sarankan untuk mengulangi bila merasa nyeri.

R/ relaksasi mengurangi ketegangan otot-otot sehingga mengurangi penekanan dan nyeri.

  1. Beri dan biarkan pasien memilih posisi yang nyaman.

R/ mengurangi ketegangan area nyeri.

  1. Kolaborasi dalam pemberian analgetika.

R/ analgetika akan mencapai pusat rasa nyeri dan menimbulkan penghilangan nyeri.

  1. 4.      Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur pengobatan.

Tujuan: pasien tidak cemas/berkurang.

Kriteria hasil: pasien sudah tidak menunjukkan sikap cemas atau gelisah, pasien dapat mengatasi kecemasan/kegelisahannya dengan metode yang tepat.

Rencana tindakan:

  1. Kaji dan pantau tanda ansietas yang terjadi.

R/ ketakutan dapat terjadi karena kurangnya informasi tentang prosedur yang akan dilakukan, tidak tahu tentang penyakit dan keadaannya.

  1. Jelaskan prosedur tindakan secara sederhana sesuai tingkat pemahaman pasien.

R/ memberikan informasi kepada pasien tentang prosedur tindakanakan meningkatkan pemahaman pasien tentang tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalahnya.

  1. Diskusikan ketegangan dan harapan pasien.

R/ untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien.

  1. Perkuat faktor-faktor pendukung untuk mengurangi ansietas.

R/ untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien.

  1. 5.      Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mati rasa pada lidah dan mulut tertarik ke arah satu sisi.

Tujuan: klien akan mempertahankan kebutuhan nutrisi yang adekuat.

Kriteria hasil: membuat pilihan diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam situasi individu, menunjukkan peningkatan BB.

Rencana tindakan:

  1. Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai dengan toleransi.

R/ kandungan makanan dapat mengakibatkan ketidaktoleransian GI

  1. Berikan diet nutrisi seimbang (misalnya semikental atau makanan halus) atau makanan selang (contoh makanan dihancurkan atau sediaan yang dijual) sesuai indikasi.

R/ macam-macam jenis makanan dapat dibuat untuk tambahan atau batasan factor tertentu, seperti lemak dan gula atau memberikan makanan yang disediakan pasien.

  1. 6.      Gangguan persepsi sensori/persepsi berhubungan dengan infeksi telinga tengah

Tujuan: klien memperlihatkan persepsi pendengaran yang baik.

Criteria hasil: pasien tidak mengadukan gangguan pendengaran, pasien tidak mengalami ansietas berhubungan dengan gangguan persepsi auditori, membedakan realita dengan perubahan persepsi sensori.

Rencana tindakan:

  1. Kaji gangguan pendengaran pada pasien bilateral atau unilateral.

R/ mengetahui gangguannya sehingga mempermudah interpretasi.

  1. Kaji tingkat gangguan persepsi pendengaran klien.

R/ untuk mengukur tingkat pendengaran pasien guna intervensi selanjutnya.

  1. Berbicara pada bagian sisi telinga yang baik.

R/ berbicara pada bagian sisi telinga yang baik dapat membantu klien dalam proses komunikasi.

  1. Kolaborasi: rujuk ke ahli fisioterapi

R/ pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan dan ketidakmampuan secara individu yang unik dan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik kognitif.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : JNE | Facebook | Home
Copyright © 2015. Kumpulan Asuhan Keperawatan - Pusat Istana Keperawatan
Template Created by Creating Website Published by Utama Corporation
Proudly powered by Blogger